Senin, 28 Agustus 2017

UPACARA PERNIKAHAN SUKU TORAJA


Toraja

  • Toraja adalah salah satu suku yang mendiami jazirah Sulawesi, mereka sebagian besar berdiam di kabupaten yang bernama Tana Toraja dan Toraja Utara, sekitar 350 km sebelah utara kota Makassar ibukota propinsiSulawesi Selatan.

Orang luar mungkin mengenal masyarakat suku Toraja dengan budayanya yang eksotis serta keindahan alamnya yang memukai. Budaya yang paling terkenal tentu saja adalah upacara pemakaman para bangsawan yang berlangsung sangat meriah dan menghabiskan dana hingga miliaran rupiah.
Berbeda dengan suku Bugis atau Makassar yang sama-sama berada dalam propinsi Sulawesi Selatan, orang Toraja terkenal dengan upacara pemakamannya yang lebih meriah daripada upacara pernikahan. Upacara pernikahan sendiri sebagian besar mirip dengan upacara pernikahan suku Makassar atau Bugis.
Pernikahan bagi orang Toraja harus dengan restu kedua pasang orang tua, jika itu dilanggar maka pria dan wanita yang menikah tersebut akan diasingkan atau tidak diakui sebagai anak. Pada jaman dahulu pernikahan tentu belum seperti sekarang, pria dan wanita belum bebas berinteraksi dan orang tua serta keluarga besar memegang kendali dalam proses perjodohan tersebut.
Perjodohan atau pernikahan diawali dengan sebuah hantaran sirih dari keluarga pria ke keluarga calon mempelai wanita. Ini sebagai langkah awal untuk mengetahui apakah ada jalan untuk meneruskan ke jenjang berikutnya atau tidak. Keluarga pria akan mengutus orang yang dipercaya untuk membawa sirih ke rumah perempuan. Bila diterima dengan baik maka artinya keluarga pihak pria bisa melanjutkan dengan acara lamaran.
Pelamaran
Pada waktu melamar disebutkan tentang ganti kerugian yang nilainya juga akan disebutkan pada upacara resmi perkawinan. Pembayaran tersebut dinilai dengan kerbau. Dalam adat pernikahan orang Toraja tidak ada disebutkan tentang mas kawin, kecuali jika sang wanita menikah dengan pria yang tidak disetujui orang tuanya. Si pria harus membayar mas kawin yang terdiri dari:
  1. Untuk wanita golongan puang 1-12 ekor kerbau.
  2. Wanita golongan tumakaka 1-3 ekor kerbau.
  3. Wanita golongan hamba 1 ekor kerbau.
Upacara pernikahan di Toraja sangat sederhana, tidak seperti yang dilakukan oleh orang Bugis atau Makassar. Keseluruhan upacara pernikahan hanya berlangsung beberapa hari saja. Adat dan upacara pernikahan orang Toraja terdiri tiga tingkatan, meski itu juga tidak mengikat karena semua tergantung pada kemampuan dan keinginan kedua belah pihak calon mempelai.
Toraja



Upacara adat Rompo Bobo Bonang
  • Upacara ini adalah upacara adat perkawinan yang paling sederhana dan dapat dilakukan dalam tempo waktu 1(satu) hari saja. Dalam upacara ini rombongan mempelai pria akan datang ke tempat kediaman wanita pada hari yang telah ditentukan. Mereka akan dihentikan oleh utusan dari keluarga mempelai wanita. Utusan ini akan bertanya apakah maksud dan tujuan mereka datang ke tempat itu. Apakah mereka singgah karena kehujanan atau kemalaman. Pertanyaan ini akan langsung dijawab oleh utusan mempelai pria bahwa mereka datang untuk melamar sesuai dengan adat istiadat dari nenek moyang. Setelah itu utusan mempelai wanita akan kembali ke rumah dan memberitahukan kepada ayah dari pengantin wanita. Ayah dari mempelai wanita akan menjemput keluarga mempelai pria dan mengajak mereka ikut dalam jamuan makan malam. Setelah jamuan makan malam selesai maka seluruh keluarga mempelai pria pulang dengan meninggalkan mempelai pria di tempat  itu. Dengan begitu telah resmilah mempelai pria menjadi suami dari mempelai wanita. Dengan demikian selesailah upacara perkawinan adat Rompo Bobo Bonang.

Upacara adat Rompo Karo Eng
  • Upacara adat ini mempunyai proses yang sedikit lebih panjang apabila dibandingkan dengan upacara adar sebelum pada saat pada saat Lamaran. Utusan dari pria akan membawakan kepada keluarga mempelai wanita sirih sebagai tanda lamaran. Apabila lamaran diterima oleh keluarga mempelai wanita maka keluarga mempelai wanita akan menentukan kapan diadakan pernikahan antara mempelai wanita dengan mempelai laki-laki. Pada hari yang telah ditentukan datanglah keluarga mempelai laki-laki ke tempat mempelai perempuan. Disinilah kita akan melihat keunikan dari upacara adat ini karena semua yang datang dari keluarga mempelai laki-laki semuanya adalah laki-laki. Proses yang terjadi berikutnya sama dengan upacara adat Rompo Bobo Bonang perbedaanya adalah keluarga dari pihak mempelai wanita akan mempersilahkan keluarga pihak laki-laki untuk menunggu di lumbung sampai pada saat jamuan makan malam siap.

Upacara adat Rompo Allo
  • Upacara ini biasanya diselenggarakan oleh kaum bangsawan karena upacara adat ini menggunakan biaya yang sangat besar dan waktu yang cukup panjang. Upacara ini sudah dimulai pada saat utusan dari mempelai pria melakukan penyelidikan tentang calon mempelai wanita. Penyelidikan yang dilakukan adalah mengenai apakah calon mempelai masih dalam status lajang dan tidak sedang dilamar oleh orang lain serta apakah calon mempelai dan keluarga mau menerima lamaran dari mempelai pria. Kegiatan penyelidikan ini disebut sebagai Palingka Kada. Apabila penyelidikan itu berhasil dan pihak keluarga mempelai wanita mau menerima lamarannya maka selanjutnya akan dilakukan Umbaa Pangan atau lamaran yang sebenarnya. Lamaran ini dilakukan oleh utusan keluarga mempelai pria dengan menggunakan pakaian adat dan membawa sirih yang akan diserahkan kepada keluarga mempelai wanita. Pada hari yang disepakati para rombongan mempelai pria atau yang disebut sebagai topasulan akan datang ke tempat mempelai wanita pada pukul 7 malam. Pada saat mereka tiba di rumah pengantin wanita mereka akan disuruh menunggu di lumbung atau daerah yang terbuka karena keluarga mempelai wanita akan menyuguhi mereka dengan sirih pinang. Setelah semuanya siap keluarga dari mempelai pria akan diajak jamuan makan malam oleh keluarga mempelai wanita. Pada saat inilah calon mempelai wanita akan dikenalkan kepada seluruh keluarga mempelai pria dan acara ini ditutup dengan jamuan makan malam yang menandakan bahwa merekan sah sebagai suami dan istri.




Minggu, 27 Agustus 2017

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma’badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma’randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma’randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma’katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma’akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma’dondan.

Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma’bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma’gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian peran
g, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma’dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma’bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma’bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa’suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma’bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa’pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.


–         BAHASA
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa’dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ , Toala’ , dan Toraja-Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
–          EKONOMI
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasionalmembuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.


Penyempurnaan kematian

penyempurnaan kematian merupakan salah satu tradisi suku toraja yang di percayai untuk keabadian di mana para leluhur bekumpul

Dalam adat istiadat Tana Toraja, masyarakat mempercayai bahwa setelah kematian maih ada sebuah ‘dunia’. ‘Dunia’ tersebut adalah sebuah tempat keabadian dimana arwah para leluhur berkumpul. Serta merupakan tempat peristirahatan. Masyarakat Toraja menyebutnya Puya, yang berada di sebelah Selatan Tana Toraja. Di Puya inilah, arwah yang meninggal akan bertranformasi, menjadi arwah gentayangan (Bombo), arwah setingkat dewa (To Mebali Puang), atau arwah pelindung (Deata). Masyarakat Toraja mempercayai bahwa wujud transformasi tersebut tergantung dari kesempurnaan prosesi Upacara Rambu Solo. Oleh karena itu, Rambu Solo juga merupakan upacara penyempurnaan kematian.

Selain itu, Rambo Solo menjadi kewajiban bagi keluarga yang ditinggalkan. Karena hanya dengan cara Rambu Solo, arwah orang yang meninggal bisa mencapai kesempurnaan di Puya. Maka keluarga yang ditinggalkan akan berusaha semaksimal mungkin menyelenggarakan Upacara Rambu Solo. Akan tetapi, biaya yang diperlukan bagi sebuah keluarga untuk menyelenggarakan Rambu Solo tidaklah sedikit. Oleh karena itu, upacara pemakaman khas Toraja ini seringkali dilaksanakan beberapa bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah meninggalnya seseorang.

Bukan meninggal, tetapi sakit
Masyarakat Tana Toraja mempercayai bahwa "Rambu Solo" akan menyempurnakan kematian seseorang Oleh karena itu, mereka juga beranggapan bahwa seseorang yang meninggal dan belum dilaksanakan Upacara Rambu Solo, maka orang tersebut dianggap belum meninggal. Orang ini akan dianggap bahkan diperlakukan seperti orang yang sedang sakit atau dalam kondisi lemah.

Orang yang dianggap belum meninggal ini, juga akan diperlakukan seperti orang yang masih hidup oleh anggota keluarganya. Misalnya dibaringkan di ranjang ketika hendak tidur, disajikan makanan dan minuman, dan diajak bercerita dan bercanda seperti biasanya, seperti saat orang tersebut masih hidup. Hal ini dilakukan oleh semua anggota keluarga, bahkan tetangga sekitar terhadap orang yang sudah meninggal ini.
Maka untuk menggenapi kematian orang tersebut, pihak keluarga harus menyelenggarakan Rambu Solo. Oleh karena biaya yang tidak sedikit, maka pihak keluarga membutuhkan waktu untuk mengumpulkan dana untuk upacara pemakaman. Biaya untuk menyelenggarakan Upacara Rambu Solo berkisar antara puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. Itulah sebabnya mengapa di Tana Toraja orang yang meninggal, baru akan dimakamkan berbulan-bulan setelah kepergiannya.
Indeks istilah umum: acara adat toraja, pesta pemakaman terbesar di toraja, upacara rambu solo toraja.

Minggu, 20 Agustus 2017

Hasil gambar untuk ARTI KATA TORAJA




Tongkonan

Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon (duduk).

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan yaitu :

1. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan".

2. Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi local

3. Tongkonan batu adalah tempat tinggal anggota keluarga biasa



Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar




Hasil gambar untuk ukiran kayu masyarakat toraja


Ukiran kayu


Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan.







Hasil gambar untuk tradisi pemakaman toraja



Upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo merupakan serangkaian kegiatan yang meriah dan mewah. Selain masa persiapannya membutuhkan waktu berbulan-bulan, biayanya juga cukup mahal. Upacara ini dilakukan atas satu kepercayaan bahwa upacara tersebut tidak akan membuat arwah orang yang meninggal memberikan kemalangan pada yang masih hidup. Singkatnya, upacara Rambu Solo untuk menangkal kemalangan.
Kepercayaan tersebut diyakini karena bagi masyarakat Toraja, orang yang mininggal hanya dianggap seperti orang sakit, karenanya masih harus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian lainnya.
Khusus untuk masa pemakaman, biasanya dalam masa menunggu upacara siap dilakukan, raga orang yang meninggal dibungkus kain kemudian disimpan di rumah leluhur atau tongkonan. Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial Suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual Suku Toraja. Oleh karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta sebagai lambang hubungan mereka dengan leluhur.
Adapun puncak upacara dilangsungkan pada bulan Juli dan Agustus. Dimana seluruh masyarakat yang merantau pada saat itu akan pulang kampung demi ikut serta dalam serangkaian upacara Rambu Solo. Satu hal lagi, dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana.
Menurut aturan main dalam tradisi Rambu Solo, keluarga yang ditinggalkan harus mengorbankan banyak kerbau atau babi untuk si mati agar kerbau dan babi tadi dapat menjaga perjalanan si mati, yaitu supaya terhindar dari malapetaka yang akan muncul seiring perjalanannya menuju alam nirwana. Masyarakat Toraja memiliki kepercayaan bahwa dengan banyaknya kerbau-kerbau yang dikurbankan akan lebih cepat mengantarkan roh si mati menuju nirwana keabadian.
Menurut budayawan Matroni Muserang, mereka mempercayai bahwa roh si mati menunggangi salah satu kerbau yang teristimewa (kerbau belang atau bonga) dan kerbau-kerbau hitam lainnya menjaga dan mengiringi perjalanan roh si mati menuju alam nirwana keabadian. Semakin banyak kerbau yang dikurbankan, semakin cepat dosa si mati terhapuskan dan mendapat tempat di sisi-Nya. Selain itu, semakin banyak kerbau yang dikurbankan juga akan melambangkan kelayakan kehidupan sang mendiang di alam baka. Banyaknya kerbau yang dikurbankan selain menjaga keselamatan roh si mati menuju alam nirwana, secara tidak langsung juga akan meninggalkan ketentraman batin bagi seluruh keluarga yang ditinggalkan di dunia.


Di dalam acara Rambu solo terdapat beberapa ritual seperti:

1. Adu laga kerbau
2. Adu kaki.
Ritual inilah yang paling berbahaya dimana mempertontongkan adu kekuatan kaki kaum lelaki dan tidak jarang terjadi hal yang fatal, ritual ini hanya akan dilaksanakan apabila acara pemakaman keluarga kalangan atas.
3. Pemotongan Kerbau dan Babi
jumlah Kerbau dan Babi yang di kurbangkan tergantung seberapa tinggi kasta pihak keluarga,semakin tinggi kasta acara pemakamannya maka semakin meriah pula acaranya.
Sebelum Kerbau di kurbangkan terlebih dahulu Kerbau diarak sebagai bentuk penghormatan sebelum di adu.dalam kepercayaan Toraja “Aluk to dolo”dipercaya bahwa semakin banyak kerbau dikorbangkan maka semakin cepat pula mayat mencapai Puya (akhirat).daging kerbau yang telah dipotong-potong akan diberikan kepada para tamu dan akan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
4. Penerimaan tamu.
Tamu yang datang biasanya datang bersama kelompok keluarganya dan membawa kerbau atau babi sebagai hadiah,namun hadiah yang dibawa tamu dianggap sebagai utang dan pihak almarhum diwajibkan menggantinya jika pihak tamu tersebut juga mengadakan pesta pemakaman nantinya dan ini telah menjadi tradisi dan tidak boleh ditolak dan apabila tidak dilaksanakan maka pihak keluarga tersebut akan membeberkan di acara pemakaman mereka
5. Ma’badong adalah satu tarian upacara yang dilakukan secara berkelompok.para penari membentuk lingkaran dan saling berpegangan tangan dan umumnya memakai pakaian hitam. Ma’badong bukan hanya sekedar tarian, melaingkan sebuah kegiatan melagukang badong dengan gerak khas. Syair yang dinyayikan berisi pengagungan terhadap si mati, di dalam nya di ceritakan asal usul dari langit, masa kanak-kanaknya, amal dan kebaikannya serta semua hal yang menyangkut dirinya yang dianggap terpuji.
Selain itu didalamnya juga mengandung harapan bahwa orang mati tersebut dengan segala kebaikannya akan memberkati orang-orangyang masih hidup.
6. Dan ritual yang terakhir yaitu membawa jenasah ke tempat pemakaman. 
Ada 3 cara pemakaman yang
 1.peti mati di letakkan di dalam gua, peti mati ditempatkan di makam batu           terukir dan di gantung di tebing. 
2. Sebelum jenazah dibawa ke tempat pemakamannya terlebih dahulu peti jenazah dihiasi dengan kain adat, tali dan pernak pernik dari emas dan perak. tak hanya itu, di dalam peti jenazah akan diletakkan berbagai barang sebagai bekal perjalana menuju puya(akhirat).
3.Barang-barang tersebut berupa pakaian, uang dan sejumlah perhiasan.menurut kepercayaan masyarakat Toraja (aluk to dolo) semakin tinggi tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat pula rohnya untuk sampai di akhirat. Dengan selesainya ritual terakhir ini maka acara Rambu solo dianggap telah selesai dan masyarakat Toraja akan manjalani aktivitas mereka masing-masing.








MITOS TERJADINYA MANUSIA TORAJA

Pada mulanya segalah sesuatunya gelap tapi langit dan bumi sudah bersatu atas perintah Puaang Matua(Sang Pencipta semesta Alam), kemudian la...